Reforma Agraria Sebagai Kebijakan Pembangunan Yang Mendasar

Reforma agraria (RA): strategi dasar pembangunan

Di berbagai belahan dunia, reforma agraria merupakan jawaban yang muncul terhadap masalah ketimpangan struktur agraria, kemiskinan dan ketahanan pangan, dan pembangunan wilayah. Berbagai negara, secara beragam mengimplementasikan reforma agraria sesuai dengan struktur dan sistem sosial, politik dan ekonomi yang dianut masing-masing. Terdapat kesamaan pandang dalam meletakkan konsep dasar pembaruannya: keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Reforma agraria sebagai strategi dasar pembangunan telah ditempuh oleh hampir semua negara yang mempunyai struktur politik, ekonomi, dan sosial yang baik. Pada penghujung abad yang lalu, reforma agraria telah menjadi bagian penting strategi negara-negara di dunia13 untuk menata struktur politik, ekonomi, dan sosialnya dalam memasuki abad sekarang ini.

Negara-negara Amerika Latin —seperti Venezuela, Brazil, Uruguay, El Salvador, Bolivia sebagai contoh—dan demikian juga negara-negara Asia —seperti Vietnam, Thailand, Filipina, India—telah menjadikan reforma agraria sebagai strategi dasar pembangunannya. Demikian juga Taiwan —yang berhasil dalam melaksanakan reforma agraria—masih terus melanjutkan strategi ini dalam proses pembangunannya.

Pengalaman pelaksanaan reforma agraria di berbagai negara, menunjukkan bahwa hampir tidak ada perbedaan pendapat mengenai reforma agraria sebagai strategi dasar pembangunan, perdebatan akan muncul pada tataran implementasi model apa yang akan diterapkan oleh suatu negara. Memetik pengalaman dari berbagai negara, reforma agraria secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi empat kategori: (1) radical land reform, tanah milik tuan tanah yang luas diambil alih oleh pemerintah tanpa ganti kerugian, dan selanjutnya dibagikan kepada petani tidak bertanah, (2) land restitution, tanah-tanah perkebunan luas yang berasal dari tanah tanah masyarakat diambil alih oleh pemerintah, kemudian tanah tersebut dikembalikan kepada pemilik asal dengan kompensasi, (3) land colonization, pembukaan dan pengembangan daerah-daerah baru, kemudian penduduk dari daerah yang padat penduduknya dipindahkan ke daerah baru tersebut, dan dibagikan tanah dengan luasan tertentu, dan (4) market based land reform (market assisted land reform), land reform yang dilaksanakan berdasarkan atau dengan bantuan mekanisme pasar yang bisa berlangsung bila tanah tanah diberikan hak (land titling) agar security in tenureships bekerja untuk mendorong pasar finansial di pedesaan. Model-model ini umumnya tidak bisa memenuhi prinsip land reform untuk melakukan penataan penguasaan dan pemilikan tanah yang adil.

RA: upaya bersama bangsa mewujudkan keadilan sosial

Cita-cita reforma agraria yang digagas oleh para pendiri bangsa sejak tahun 1946 untuk menata struktur keagrariaan nasional dari yang feodalistik dan kolonialistik —yang dicirikan oleh adanya sistem pertuanan dan konsentrasi aset keagrariaan pada sekelompok kecil masyarakat—menjadi struktur keagrariaan yang berkeadilan sosial, secara resmi dicanangkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 1 Januari 1961. Pencanangan reforma agraria (yang saat itu disebut sebagai land reform) —bersamaan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (yang merupakan UU pelaksana UUPA)—pada saat Pencangkulan Pertama Kali Pembangunan Semesta Nasional yang merupakan pencanangan pembangunan semesta nasional. Dengan demikian reforma agraria diposisikan sebagai bagian dari strategi dasar dari pembangunan.

Dalam perjalanannya, reforma agraria yang dilaksanakan tahun 1961 terhenti pada tahap awal pelaksanaannya di pertengahan tahun sembilan belas enampuluhan. Kenyataan ini menjadikan persoalan-persoalan keadilan sosial masih menjadi bagian penting yang harus diperjuangkan dalam proses pembangunan Indonesia.

Kesadaran akan pentingnya menata kembali kehidupan bersama yang berkeadilan sosial melalui reforma agraria mencapai puncaknya dengan diterbitkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang mengharuskan dilakukannya pembaruan agraria atau reforma agraria. Kemudian, MPR RI mengingatkan kembali perlunya pelaksanaan reforma agraria ini dengan dilahirkannya Keputusan MPR Nomor 5 Tahun 2003. Hal ini dimaknai sebagai bentuk konsensus sosial dan konsensus politik baru dalam mewujudkan keadilan sosial, konsensus baru yang taat azas dan taat konstitusi.

Bila dicermati secara seksama, jiwa dan isi TAP MPR tersebut di atas sangat konsisten dengan Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28. Lebih lanjut, isi TAP MPR tersebut juga sejalan dan konsisten dengan jiwa dan isi Undang-undang Pokok Agraria, undang-undang yang dilahirkan oleh para pendiri bangsa melalui proses perumusan yang memakan waktu sekitar 14 tahun (1946-1960). Undang-undang Pokok Agraria inilah yang menjadi payung hukum dan dasar dari pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia.

Sebagai tindak lanjut konsensus sosial dan konsensus politik sebagaimana dijelaskan diatas, reforma agraria dituangkan dalam BAB IV.1.5 Mewujudkan Pembangunan yang Lebih Merata dan Berkeadilan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 : “… menerapkan sistem pengelolaan pertanahan yang efisien, efektif serta melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi…, perlu dilakukan penyempurnaan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui … land reform.”

RA: jawaban terhadap masalah dan tantangan kekinian

Di samping lahirnya konsensus politik dan sosial yang baru serta peneguhan pelaksanaan mandat konstitusi dan undang- undang, reforma agraria saat ini semakin penting untuk dilaksanakan mengingat kenyataan-kenyataan berikut. Sebagai bangsa, sebagaimana telah diuraikan di atas, saat ini kita masih menghadapi persoalan persoalan struktural yang mewujud dalam bentuk: (a) tingginya tingkat pengangguran, (b) besarnya kemiskinan, (c) tingginya konsentrasi aset agraria pada sebagian kecil masyarakat, (d) tingginya sengketa dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia,17 (e) rentannya ketahanan pangan dan ketahanan enerji rumah tangga dari sebagian besar masyarakat kita, (f) semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup, dan (g) lemahnya akses sebagian terbesar masyarakat terhadap hak-hak dasar rakyat termasuk terhadap sumber-sumber ekonomi keluarga.

Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, reforma agraria ditujukan untuk: (1) menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil, (2) mengurangi kemiskinan, (3) menciptakan lapangan kerja, (4) memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah, (5) mengurangi sengketa dan konflik pertanahan, (6) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup, serta (7) meningkatkan ketahanan pangan rakyat Indonesia dan ketahanan enerji nasional.

Apabila dicermati, keseluruhan tujuan reforma agraria di atas bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan penyelesaian berbagai permasalahan bangsa. Namun demikian, dalam pelaksanaannya tidak tertutup kemungkinan dapat menimbulkan potensi sengketa dan masalah baru yang tidak kita inginkan bersama. Kemungkinan potensi sengketa dimaksud bisa lahir akibat kekurangpahaman kita bersama terhadap pelaksanaan reforma agraria yang strategis ini. Untuk itu penyamaan persepsi, kesatuan gerak dan langkah semua pihak menjadi sangat penting.

RA: mengatasi persoalan struktural bangsa

Persoalan-persoalan struktural yang menghambat perwujudan keadilan sosial tersebut, seperti telah dikemukakan di depan, tidak akan pernah memadai bila diatasi dengan pendekatan yang bersifat end pipe policies. Proses pembangunan yang masih banyak dipengaruhi oleh colonial mode of development, maupun proses-proses pembangunan yang tidak senantiasa taat azas pada tujuan dan cita-cita Indonesia merdeka harus segera ditinggalkan. Proses pembangunan yang dibutuhkan ialah yang secara mendasar mampu mengatasi persoalan struktural. Di era transisi demokrasi ini, rakyat Indonesia memiliki caranya sendiri untuk menggulirkan roda pembangunan.

Reforma agraria sebagai strategi dan langkah pembangunan telah terbukti dalam sejarah dan dalam pengalaman negara-negara lain, sebagaimana telah diuraikan di atas. Mengapa reforma agraria mampu mengatasi persoalan-persoalan struktural dan dapat kita jalankan sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik kita? Tidak lain karena reforma agraria —baik sebagai konsepsi, strategi, maupun langkah pembangunan—bergerak langsung untuk mengatasi pokok persoalannya dengan menggunakan mandat negara, yang merupakan mandat publik, dan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.

Untuk saat ini, dapat saya pahami, reforma agraria diartikan secara beragam oleh beragam orang, profesi, atau kelompok. Di kalangan akademisi, di kalangan pegiat reforma agraria, maupun di kalangan pemerintah, reforma agraria tidak jarang dipahami secara berbeda-beda. Tetapi, dari semua ragam pemahaman ini, ada benang merah yang dapat menghubungkan semuanya, yaitu bahwa reforma agraria dimaknai sebagai penataan atas penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T) atau sumber-sumber agraria menuju suatu struktur P4T yang berkeadilan dengan langsung mengatasi pokok persoalannya. Apabila makna ini didekomposisi, terdapat lima komponen mendasar di dalamnya, yaitu : (a) restrukturisasi penguasaan asset tanah ke arah penciptaan struktur sosial-ekonomi dan politik yang lebih berkeadilan (equity), (b) sumber peningkatan kesejahteraan yang berbasis keagrariaan (welfare), (c) penggunaan/pemanfaatan tanah dan faktor-faktor produksi lainnya secara optimal (efficiency), (d) keberlanjutan (sustainability), dan (e) penyelesaian sengketa tanah (harmony).

Penataan tersebut tentu membutuhkan kekuatan dan mandat negara untuk memastikan bahwa rakyat harus memiliki sumbersumber ekonomi dan memiliki akses sosial dan politik bagi kehidupannya. Dalam kerangka mandat inilah diperlukan pula adanya distribusi/redistribusi aset-aset yang dimiliki negara untuk rakyat yang tidak memiliki aset atau yang asetnya tidak memadai untuk menopang kehidupan rumah tangganya, termasuk di dalamnya tanah dan aspek-aspek agraria lainnya. Distribusi/redistribusi aset ini harus pula disertai dengan pengembangan akses masyarakat terhadap berbagai hal yang memungkinkan rakyat memanfaatkan asetnya secara baik.18 Di antaranya adalah akses untuk bisa berpartisipasi secara bermakna dalam kehidupan sosial dan politik serta akses terhadap modal, teknologi, manajemen, pendampingan/pembinaan, peningkatan kapasitas dan kemampuan, pasar input dan pasar output, atau lainnya yang dibutuhkan untuk berkembang.

Perlu dicermati bahwa meskipun pendistribusian tanah kepada masyarakat yang berhak merupakan salah satu komponen kegiatan penting dalam program ini, namun reforma agraria tidaklah sama maknanya dengan program pendistribusian atau pembagian tanah semata. Justru, esensi yang perlu terus dijaga adalah bagaimana agar masyarakat penerima manfaat dapat mengoptimalkan pengelolaan aset tanahnya secara berkesinambungan guna meningkatkan kualitas hidup dan penghidupannya, yang pada gilirannya berdampak pada pertumbuhan perekonomian wilayahnya. Sehingga, secara keseluruhan akan sejalan dengan tujuan reforma agraria. Pembukaan akses perlu direncanakan, diselenggarakan dan dikendalikansecara cermat baik dalam konteks penyediaan dukungan dukunganteknis dan managerial maupun dalam pembinaan lanjutan lainnya serta ketentuan- ketentuan hukumnya. Pembukaan akses ini merupakan komponen kegiatan yang bersifat multi-sektoral, oleh karena itu koordinasi intensif dan kontributif dari segenap komponen yang terkait dalam kegiatan ini merupakan suatu keharusan. Atas dasar hal tersebut, untuk mempermudah pemahaman, reforma agraria dapat kita definisikan sebagai land reform plus. Artinya reforma agraria adalah land reform di dalam kerangka mandat konstitusi, politik, dan undang-undang untuk mewujudkan keadilan dalam P4T ditambah dengan access reform. Atau, secara mudah dirumuskan sebagai berikut:

Reforma Agraria = Land Reform + Access Reform

Di dalam kerangka inilah, Presiden Republik Indonesia, Bapak Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, melalui Pidato Awal Tahun yang dilakukan pada tanggal 31 Januari 2007 memutuskan bahwa mulai tahun 2007 ini secara bertahap reforma agraria dilaksanakan dengan prinsip dasar: tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat.

RA: persiapan dan perencanaan

Reforma agraria merupakan agenda besar bangsa yang membutuhkan persiapan dan perencanaan yang matang dan cermat guna memastikan tercapainya tujuan. Untuk memastikan bahwa reforma agraria tersebut berjalan secara baik, Pemerintah merencanakan akan mengalokasikan 9,25 juta hektar tanah yang berasal dari berbagai sumber, termasuk di dalamnya tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee yang telah ditetapkan berdasarkan undang undang tetapi masih belum diredistribusikan, tanah-tanah negara yang haknya telah berakhir, tanah-tanah negara yang pemanfaatan dan penggunaannya tidak sesuai dengan surat keputusan pemberian haknya, tanah-tanah yang secara fisik dan secara hukum telantar, 19 tanah bekas kawasan kehutanan, dan jenis-jenis tanah lainnya yang telah diatur oleh undang-undang.

Sering dipertanyakan oleh berbagai pihak, siapa penerima manfaat reforma agraria? Penerima manfaat reforma agraria adalah rakyat miskin. Semua tanah yang dialokasikan untuk reforma agraria pada prinsipnya untuk rakyat miskin. Kriteria miskin disusun secara hati-hati dan mendalam, dengan mempertimbangkan berbagai standar kemiskinan. Penyusunan kriteria penerima manfaat berdasarkan pendekatan hak-hak dasar rakyat (basic rights approach), yang merupakan hak yang universal dan dijamin oleh konstitusi. Kemudian diperoleh 3 (tiga) variabel pokok dalam menetapkan kriteria: kependudukan, sosial-ekonomi, dan penguasaan tanah. Dari ketiga variabel ini akan ditetapkan kriteria umum, kri-teria khusus dan urutan prioritas.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mekanisme dan delivery system reforma agraria? Data menunjukkan bahwa kantong-kantong kemiskinan berada terutama berada di hampir semua provinsi di Pulau Jawa, kemudian provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Selatan. Sedangkan tanah yang dialokasikan sebagian besar tersedia di luar provinsi tersebut. Dengan perkataan lain, penerima manfaat (subyek) reforma agraria tidak berada dalam satu lokasi dengan tanah yang tersedia (obyek). Namun terdapat pula keadaan dimana penerima manfaat berada pada lokasi yang sama dengan tanah yang tersedia. Keterpisahan antara penerima manfaat dengan tanah yang dialokasikan memerlukan desain sosial dan ekonomi, sehingga penerima manfaat dan tanahnya berada pada lokasi yang sama. Dari pendalaman diperoleh 3 (tiga) model dasar mekanisme dan delivery system sebagai berikut:

(1) Mendekatkan Obyek ke Tempat Subyek.

Dalam model ini, tanah dari daerah yang surplus tanah atau tidak padat penduduknya didekatkan ke daerah yang minus tanah, padat penduduknya dan dekat dengan penerima manfaat.

(2) Mendekatkan Subyek ke Tempat Letak Obyek.

Dalam model ini calon penerima manfaat (subjek) berpindah secara sukarela (voluntary) ke lokasi tanah yang tersedia.

(3) Subyek dan Obyek di Satu Lokasi yang Sama.

Model ini untuk keadaan di mana subyek dan obyek berada di lokasi yang sama. Secara skematis, ketiga model dasar delivery system obyek Reforma Agraria. Guna menjamin terlaksananya Reforma Agraria akan disusun dan disempurnakan peraturan perundang-undangan yang bersifat operasional, termasuk yang berkaitan dengan kelembagaan reforma agraria. Kelembagaan Reforma Agraria dibagi dalam dua kelompok kelembagaan, yaitu: (1) lembaga yang berfungsi menetapkan kebijakan, koordinasi dan pengendalian reforma agraria, serta (2) Lembaga yang berfungsi mengelola dan membiayai reforma agraria. Prinsip penting atas beroperasinya lembaga- lembaga ini adalah diterapkannya good governance secara konsekuen.

Tanah, Kebangsaan, dan Pembangunan

Tanah sebagai identitas kebangsaan dan kenegaraan Indonesia (cross border identity)

Tanah air Indonesia —yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa—menyatukan seluruh rakyat Indonesia menjadi bangsa Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, hubungan dengan tanah air Indonesia bersifat abadi. Selama bangsa Indonesia ada, ada pula tanah air Indonesia. Tidak ada suatu kekuasaan dan kekuatan —selain Tuhan Yang Maha Esa— yang dapat memutus hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanah air Indonesia.

Tanah, yang merupakan kekayaan Nasional, dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh

seluruh bangsa Indonesia, merupakan hak dari bangsa Indonesia. Tanah, untuk menjamin keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak semata menjadi hak pemiliknya saja. Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata menjadi hak rakyat dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja, tapi merupakan hak seluruh rakyat Indonesia.

Bagi rakyat Indonesia hubungan dengan tanah merupakan hal yang sangat mendasar dan asasi. Hubungan ini sangat menentukan

kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, keberlanjutan dan harmoni bangsa dan Negara Indonesia. Jika hubungan ini tidak tersusun dengan baik, akan lahir kemiskinan bagi sebagian terbesar rakyat Indonesia, ketidakadilan, peluruhan serta sengketa dan konflik berkepan-jangan yang bisa bersifat struktural. Hubungan yang mendasar dan asasi tersebut dijamin dan dilindungi keberadaannya oleh Konstitusi.

Tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat

Sejalan dengan UUD 1945 yang menunjukkan perjalanan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, bahwa ujung dari cita-cita negara adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. UUD 19457 memberikan dasar bagi lahirnya kewenangan negara yang disebut dengan hak menguasai negara.8 Hak negara dimaksud berisi kewenangan: (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut, (b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, dan (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Ketiga kewenangan dimaksud, merupakan landasan untuk mewujudkan cita-cita mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Republik Indonesia.

Negara mempunyai kekuasaan atas seluruh bumi, air dan ruang angkasa. Negara dapat memberikan tanah yang belum dipunyai sesuatu hak kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukannya. Atas dasar hak menguasai dari Negara ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah.

Tanah untuk keadilan sosial

Negara menggariskan nilai-nilai dalam upaya menata struktur keagrariaan nasional yang berkeadilan: (a) semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, (b) penguasaan dan pemilikan tanah yang me-lampaui batas tidak diperkenankan, (c) tanah harus dikerjakan sendiri secara aktif oleh pemiliknya dan mencegah cara-cara pemerasan, (d) usaha dalam bidang agraria tidak boleh bersifat monopoli, (e) menjamin kepentingan golongan ekonomi lemah, dan (f) untuk kepentingan bersama.

Tidak dapat dibenarkan, bila pemegang hak atas tanah mempergunakan atau tidak mempergunakan tanahnya untuk kepentingan pribadinya semata. Apalagi jika merugikan kepentingan umum. Penggunaan dan pemanfaatan tanah harus sesuai dengan keadaan dan sifat haknya, sehingga memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi pemegang hak, masyarakat, dan Negara. Ini tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan terabaikan oleh kepentingan umum. Kepentingan umum dan kepentingan perseorangan harus seimbang, sehingga tercapai kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan seluruh rakyat.

Guna mencegah tertumpuknya penguasaan dan pemilikan tanah di tangan segelintir orang, maka penguasaan dan pemilikan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan karena merugikan kepentingan umum. Untuk itu, ditetapkan batas minimum dan maksimum luas tanah yang dapat dimiliki oleh seseorang sehingga dapat memperoleh penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan keluarganya. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum akan diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian dan selanjutnya tanah tersebut akan dibagikan kepada rakyat yang membutuhkannya.

Orang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan. Lebih jauh, usaha dalam bidang agraria tidak boleh bersifat monopoli, harus dapat menjamin kepentingan golongan ekonomi lemah, dan untuk kepentingan bersama.

Tanah adalah kehidupan

Pancasila, UUD 45 dan UUPA menuntut agar politik, arah dan kebijakan pertanahan memberikan kontribusi nyata dalam proses mewujudkan keadilan sosial dan sebesar-besar kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai luhur ini mensyaratkan dipenuhinya hak rakyat untuk dapat mengakses berbagai sumber kemakmuran, utamanya tanah. Terbukanya akses rakyat kepada tanah dan kuatnya hak rakyat atas tanah, memberikan kesempatan rakyat untuk memperbaiki sendiri kesejahteraan sosial-ekonominya-hak hak dasarnya terpenuhi, martabat sosialnya meningkat, rasa keadilannya tercukupi-harmoni sosial tercipta. Kesemuanya ini akan menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.

Dalam rangka mewujudkan tanah untuk keadilan dan kesejahteraan politik, arah dan kebijakan pertanahan didasarkan pada

empat prinsip: (1) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber sumber baru kemakmuran rakyat, (2) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah, (3) pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat—tanah, dan (4) pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air dan menata sistem pengelolaan yng tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.

Berlandaskan empat prinsip pengelolaan pertanahan tersebut, Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional R.I. telah merumuskan 11 Agenda Prioritas,12 antara lain, mengembangkan dan memperbaharui politik, hukum dan kebijakan pertanahan. Semua ini dibingkai dalam sebuah kebijakan yaitu Reforma Agraria.

Langkah Ke Arah Kebijakan Untuk Memecahkan Persoalan Mendasar

Kalau kita mau mengatasi persoalan-persoalan struktural sebagaimana telah dijelaskan di atas, end pipe policies, yakni kebijakan yang terjebak hanya mengatasi symptom dari permasalahan namun

gagal mengidentifikasikan dan memecahkan akar persoalan, tidak akan mampu mengatasi persoalan. Bahkan, akar masalah yang tidak terpecahkan akan melahirkan berbagai persoalan-persoalan

baru ikutannya. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang memang langsung mengatasi persoalan-persoalan structural ini. Namun demikian, tetap harus diingat bahwa dalam mengatasi

persoalan struktural kita tetap harus taat asas pada konstitusi, harus taat asas kepada ideologi yang kita anut.

Kita mengenal apa yang disebut sebagai structural adjustment program (SAP).3 Telah lama dikampanyekan bahwa SAP merupakan pendekatan kebijakan yang dapat menyelesaikan persoalan

struktural di tanah air. Tetapi pertanyaannya kemudian adalah: apakah SAP itu taat asas dengan konstitusi dan taat asas dengan ideologi negara, Pancasila? Kalaupun SAP tidak bersifat generik

dan cukup efektif mengatasi “persoalan mendasar” tetapi ahistoris dan tidak taat asas pada ideologi dan konstitusi kita, apakah kebijakan semacam ini layak dijalankan? Tentu, kita harus kritis terhadap

hal ini. Sebagai ilustrasi, untuk mengatasi “persoalan mendasar” lambatnya pertumbuhan ekonomi, SAP cenderung akan berupaya memaksimalkan investasi, terutama investasi asing—baik dalam bentuk portfolio investment di pasar modal maupun dalam bentuk foreign direct investment. Fokus ini umumnya tanpa memperhatikan bagaimana dampaknya terhadap kesenjangan dan rasa keadilan. Mungkin SAP menyebabkan pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi; namun, melahirkan senjangnya distribusi pendapatan serta melahirkan ketidakadilan baru bagi rakyat. Dan, hal ini

tentunya tidak sejalan dengan mandat yang tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

Saya telah kemukakan bahwa kita tidak bisa lagi mengatasi persoalan-persoalan struktural menggunakan colonial mode of development dan end pipe policies. Oleh karena itu, yang kita

butuhkan adalah kebijakan atau program yang dengannya akar persoalan utama diselesaikan; hulu persoalan diatasi, dan kerak-karat sepanjang pipa dibersihkan. Hanya dengan empowering mode of

development, serta kebijakan dan program pembangunan yang langsung mengatasi persoalan dasar, masalah-masalah structural yang dihadapi negeri ini dapat diatasi.

Kita ambil sebagai contoh, kemiskinan. Kajian-kajian di seluruh dunia, baik di negara-negara Asia, Afrika maupun Amerika Latin, mengkonfirmasi bahwa rakyat miskin hampir tidak pernah berbicara mengenai pendapatan. Pendapatan menjadi variabel yang irrelevant karena seberapa pun “besarnya” pendapatan yang diperoleh, tetap tidak mencukupi untuk bisa memberikan kehidupan yang layak. Rakyat miskin itu, dengan apa pun bahasa dan ungkapan kata yang mereka gunakan, hampir selalu bicara mengenai aset apa yang bisa dikelola dan bagaimana dia bisa menggarap aset itu untuk sandaran kehidupannya, untuk meningkatkan kehidupan keluarganya. Rakyat miskin juga hampir selalu berbicara kesempatan atau akses apa yang mereka bisa dapatkan agar bisa meningkatkan derajad dan kualitas kehidupannya. Jadi ketika kita berbicara tentang kemiskinan, mau tidak mau kita harus berbicara mengenai aset dan akses rakyat miskin pada sumber-sumber kehidupan — yaitu, sumber-sumber ekonomi dan sumber-sumber politik.

Berbicara mengenai aset dan akses bagi rakyat miskin berarti kita berbicara mengenai hak dasar. Secara akademik, hak dasar rakyat bisa dibagi dua. Pertama, yang disebut sebagi given rights

yaitu hak-hak yang bisa lahir dari keharusan konstitusi, Undangundang, peraturan, norma, budaya, atau lainnya. Kedua, yang disebut exercised rights yaitu hak-hak yang perwujudannya harus diperjuangkan. Karena kita menghadapi persoalan struktural, yang given rights itu pun ternyata masih harus diperjuangkan, apalagi the exercised rights. Karena itu, kita harus wujudkan langkah yang harus kita tempuh pertama adalah given rights melalui proses dan kebijakan pembangunan yang tepat. Paralel dengan itu, exercised rights dikembangkan sebagai bagian penting dari komponen Negara modern. Dalam pengertian ini, konsepsi Amartya Sen menemukan bentuknya, yaitu bahwa pembangunan sebagai proses pembebasan. Proses pembebasan ini dilakukan dengan memberikan hak-hak rakyat melalui pengembangan akses rakyat —masyarakat— pada sumber-sumber ekonomi dan sumber-sumber politik.

 

Rakyat harus punya akses untuk membebaskan dirinya tentu melalui proses pembangunan — dari kebodohan, ketertinggalan, ketertindasan, sempitnya ruang gerak kehidupan, ketergantungan,

rasa takut. Dan, untuk ini rakyat harus punya aset yang dapat dikelola dan punya akses untuk memberdayakan asetnya. Petani harus punya tanah dan punya akses pada modal, teknologi, pasar,

manajemen dan seterusnya. Petani harus punya alat-alat produksi, punya kapasitas dan kemampuan untuk menyuarakan kepentingannya. Punya akses untuk melahirkan inovasi-inovasi sosial yang menjadi prasyarat lahirnya perubahan sosial di pedesaan. Dalam kerangka itulah, reforma agraria menjadi bagian penting yang harus dijalankan. Reforma agraria merupakan strategi dasar negara- negara untuk membangun struktur politik, ekonomi, dan social yang berkeadilan. Bagaimana kita, sebagai bangsa, memandang dan memaknai reforma agraria ini?

Indonesia mulai menjalankan land reform tahun 1961, bersamaan dengan Taiwan memulai program reforma agrarianya. Taiwan berhasil dan terus melanjutkan strategi ini dalam pembangunannya,

namun Indonesia berhenti pada pertengahan tahun enam puluhan. Dampaknya, empat dekade kemudian timbul persoalan ketidakmerataan distribusi penggunaan tanah pertanian di Indonesia

yang disertai dengan serangkaian masalah struktural sebagaimana yang telah dikemukakan di depan.4 Tanpa adanya reforma agraria, persoalan keadilan sosial tampaknya sulit sekali untuk diatasi

dan masih menjadi bagian penting yang harus diperjuangkan dalam proses pembangunan kita.

 

Efektivitas reforma agraria dalam mengatasi kemiskinan sudah teruji. Prof. Easterly (2001) menyatakan: “growth benefits poor people most where access to land is fair.” World Bank (2007) mencatat bahwa penurunan kemiskinan di China dari 53 persen tahun 1981 menjadi hanya 8 persen tahun 2001 merupakan hasil positif dari penerapan reforma agraria yang dimulai pada tahun 1978.

Lebih jauh lagi, Prof. Rodrik dalam DFID (2007) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi justru lebih cepat di negara-negara yang memiliki distribusi tanah yang lebih merata.

Syukurlah kesadaran baru atas pentingnya mewujudkan keadilan sosial melalui reforma agraria sudah mulai tumbuh dan berkembang kembali di masyarakat kita serta di berbagai negara lain.

Bagaimana reforma agraria bisa mengatasi masalah itu? Bagaimana perspektif reforma agraria di negara-negara yang telah menjalankan, dan bagaimana kita akan menjalankannya? Negara-negara yang pada saat ini mempunyai struktur sosial, ekonomi dan politik yang lebih baik, seperti Jepang, Taiwan, China serta beberapa negara lain adalah negara yang telah mengalami, menjalankan, atau sedang merevitalisasi program reforma agrarianya. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, akan terlebih dahulu saya paparkan peran sentral tanah bagi kita dan bagaimana reforma agraria akan kita jalankan.

Kemiskinan, Pengangguran, dan Colonial Mode Of Development

Apakah proses-proses pembebasan sudah cukup jauh kita lalui? Apa persoalan-persoalan utama yang kita hadapi? Mari kita lihat terlebih dahulu persoalan kemiskinan. Data kemiskinan terakhir (Maret 2007) dari BPS menunjukkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 37,17 juta jiwa atau 16,58 persen dari total populasi Indonesia. Di kawasan perkotaan, insiden kemiskinan tersebut adalah 13,36 persen, sedangkan di kawasan pedesaan mencapai 21,90 persen. Ini menunjukkan bahwa kemiskinan paling banyak dialami penduduk pedesaan yang pada umumnya adalah petani. Dari total rakyat miskin di Indonesia, sekitar 66 persen berada di pedesaan dan sekitar 56 persen menggantungkan hidupnya sepenuhnya pada pertanian. Dari seluruh penduduk miskin pedesaan ini ternyata sekitar 90 persen bekerja — bekerja keras tetapi tetap miskin. Hal ini terutama disebabkan oleh lemahnya akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi dan sumber-sumber politik termasuk yang terutama adalah tanah. Dan, peluruhan kehidupan di pedesaan ternyata memiliki percepatan yang lebih tinggi daripada perkotaan. Hal ini menandakan pentingnya kita menata kembali kehidupan di pedesaan, dalam konteks keadilan spasial. Selanjutnya, UUD 1945 pasal 27 ayat 2 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan yang layak untuk kehidupannya. Berkenaan dengan hal ini, bagaimana keadaan kita sekarang? Pengangguran di Indonesia relatif tinggi. Angka pengangguran terbuka menurut data terakhir (Februari 2007) mencapai 10,55 juta jiwa (9,75 persen dari total angkatan kerja), yang tersebar di Pulau Jawa, yaitu 10,39 persen dari total angkatan kerja di Pulau Jawa, disusul Pulau Sulawesi dan Pulau Sumatera, masingmasing 9,94 persen dan 9,62 persen. Sedangkan angka setengah pengangguran di Indonesia (per Februari 2006, karena data tersebut belum tersedia untuk Februari 2007) mencapai 29,92 juta jiwa (28,16 persen); paling banyak terdapat di pedesaan yaitu 23,00 juta jiwa (36,76 persen) dan di perkotaan 6,92 juta jiwa (15,83 persen).

 

Lemahnya kesempatan kerja di pedesaan mendorong angkatan kerja mengalir ke perkotaan yang ternyata juga belum mampu menyerap angkatan kerja yang ada. Akibatnya, urbanisasi yang berlangsung diiringi dengan bertambahnya pengangguran beserta berbagai eksesnya di perkotaan. Kemiskinan dan pengangguran yang relatif tinggi tersebut adalah cerminan dari persoalan-persoalan struktural yang kita hadapi. Mari kita lihat sekarang dengan perspektif yang lebih jauh. Bagaimana kemiskinan dan masalah ketenagakerjaan ini sepertinya demikian rumit untuk bisa kita pecahkan? Persoalan-persoalan struktural ini lahir dari akumulasi persoalan sebelum kemerdekaan dan sejak kemerdekaan. Adalah wajar bila persoalan keadilan social itu tidak terwujud pada saat Indonesia di bawah penjajahan. Tetapi ketika kita telah merdeka, adalah wajar kemudian kita berharap bahwa keadilan sosial di negeri merdeka ini membaik. Tetapi, data di atas menunjukkan bahwa kita masih harus berjuang keras untuk mewujudkannya. Perjuangan ini harus kita mulai terlebih dahulu secara konsepsional dengan membebaskan diri kita, nilai-nilai pemikiran, dan praksis — dari colonial mode of development, yaitu kerangka pemikiran pembangunan yang kolonialistik, eksploitatif, tidak membebaskan, myopic, dan berperspektif jangka pendek.2 Dan setelah itu, kita juga harus membebaskan diri kita dari perspektif penanganan masalah berbasis simptomatik, kita harus akhiri end pipe policies atau kebijakan ujung pipa. Dengan colonial mode of development, kita tidak akan mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan end pipe policies kita tidak akan mampu mengatasi persoalan structural yang ada. Akibatnya, selain masalah kemiskinan yang relative tinggi dan pengangguran yang demikian persisten, kesenjangan sosial-ekonomi menjadi melebar. Muara dari masalah-masalah ini adalah persoalan keadilan sosial. Distribusi pendapatan Indonesia belum tersebar secara merata. Indeks Gini mengalami peningkatan dari 0,308 (tahun 1999) menjadi 0,329 (2002) dan menurut data terakhir dari BPS 0,363 (2005). Indeks Gini tersebut dihitung dengan pendekatan pengeluaran; bila dihitung dengan pendekatan kepemilikan aset, tentu akan lebih besar. Dan hal ini menandakan kesenjangan yang semakin melebar. Lebarnya kesenjangan pendapatan juga terjadi antara petani dan non-petani. Dengan tenaga kerja sebanyak 44 persen dari total tenaga kerja, Produk Domestik Bruto (PDB) sector pertanian-yang merupakan proksi dari pendapatan petani-hanya 13 persen dari PDB total. Pada tahun yang sama (2006), sektor industry dengan tenagakerja 12 persen dari total tenagakerja memiliki PDB sejumlah 28 persen dari PDB total. Pada sektor pertanian, insiden kemiskinan mencapai 56,07 persen, jauh melebihi yang terjadi di sector industri yakni 6,77 persen. Banyaknya kemiskinan di sektor pertanian berkaitan dengan penguasaan tanah yang timpang. Data terakhir menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga petani gurem (yakni rumah tangga petani dengan penguasaan tanah kurang dari 0,5 ha) mencapai 56,5 persen dari total jumlah rumah tangga petani.

Keadilan Sosial Sebagai Tujuan Mendasar

Ketika kita memerdekakan diri, tekad kita jelas. Kita bertekad untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Itu adalah tekad besar.

Kalau kita renungkan lebih dalam, ujung dari perjalanan kehidupan kita sebagai bangsa dan negara Indonesia adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Itulah amanat, itulah mandat, itulah cita-cita, itulah ujung perjalanan yang kita tuju.

Sudah sampai di mana kita berjalan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

ini? Sudahkah kita mengkaji dan membangun strategi bersama untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tersebut?

Mari kita lihat apa yang sudah ada dan kita miliki saat ini. Untuk bisa mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kita harus terlebih dahulu memaknai kemerdekaan. Kemerdekaan sesungguhnya adalah proses pembebasan.

Ketika kita canangkan kemerdekaan, ia barulah pembebasan dari penguasaan asing. Menurut Bung Karno, kemerdekaan merupakan jembatan emas untuk menuju pembebasan-pembebasan lainnya. Yang kita perlukan lebih jauh dari itu, yaitu sebagai bangsa merdeka kita harus mampu membebaskan diri kita dari kebodohan dan kemiskinan, dari kedunguan dan ketidakadilan, dari ketergantungan, dari hegemoni pemikiran dan penguasaan, dari berbagai persoalan mendasar dan belenggu masa lalu.

Proses-proses pembebasan ini adalah sekaligus proses rangsangan-rangsangan kreatif dan rangsangan-rangsangan inovatif dari bangsa kita untuk mewujudkan keadilan sosial tersebut.

Pembaruan Agraria Nasional

Pembangunan nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah diarahkan pada penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan.  Hal ini merupakan  landasan yang kokoh untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat dan untuk mewujudkan keadilan sosial.  Prinsip keadilan sosial masyarakat dikembangkan melalui proses pemenuhan hak-hak dasar masyarakat sebagaimana dijamin oleh konstitusi.  Hampir semua hak-hak dasar masyarakat berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan tanah dan pertanahan. Hak-hak dasar masyarakat dipenuhi dengan pembukaan akses masyarakat yang lebih besar terhadap tanah dan akses terhadap sumber ekonomi lainnya sebagai sumber kesejahteraan melalui Pembaruan Agraria.

Pembaruan Agraria, yang dalam implementasinya dituangkan dalam Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN), merupakan strategi untuk mengurangi ketimpangan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah dan mengentaskan kemiskinan.  Di samping itu, juga berkontribusi dalam menciptakan lapangan kerja dan menciptakan ketahanan pangan terutama di perdesaan.  Dari pengalaman negara-negara yang pernah melaksanakannya, program ini merupakan cara yang paling efektif untuk meningkatkan kesejahteraan di perdesaan serta untuk menyelesaikan konflik pertanahan.

Saat ini, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 39,05 juta jiwa (17,75%), yang sebagian besar tersebar di pedesaan.  Penduduk miskin ini sekitar 90% adalah pekerja.  Selanjutnya, penduduk miskin ini paling banyak terdapat di sektor pertanian (56,07%), yang terutama disebabkan oleh minim atau tiadanya akses mereka kepada faktor-faktor produksi, termasuk tanah.  Hal ini terlihat dari jumlah petani gurem (penguasaan tanah kurang dari 0,5 hektar) yang mencapai 56,5% dari jumlah petani.

Landasan Program Pembaruan Agraria Nasional adalah Ketetapan MPR-RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang mengamanatkan kepada pemerintah antara lain melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, serta menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum.

Selanjutnya, Keputusan MPR-RI Nomor 5/MPR-RI/2003 tentang Penugasan kepada Pimpinan MPR-RI untuk menyampaikan Saran atas Pelaksanaan Putusan MPR-RI oleh Presiden, DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2003, memerintahkan kepada Presiden dan DPR untuk melaksanakan Pembaruan Agraria, antara lain menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan di bidang agraria secara proporsional dan adil, mulai dari permasalahan hukumnya sampai dengan implementasi di lapangan, menyusun peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pembaruan agraria, dan mempermudah pemberian akses tanah terhadap masyarakat kecil, khususnya petani.

Presiden Republik Indonesia dalam Pidato Politik Awal Tahun 2007 pada tanggal 31 Januari 2007 menyatakan secara tegas arah kebijakannya mengenai pertanahan, sebagaimana terlihat dari pernyataannya sebagai berikut:

“Program Reforma Agraria … secara bertahap … akan dilaksanakan mulai tahun 2007 ini.  Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan kita boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat.  Inilah yang saya sebut sebagai prinsip Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat … [yang] saya anggap mutlak untuk dilakukan”.

Dalam rangka mewujudkan Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat tersebut, prinsip-prinsip pengelolaan pertanahan harus: (1) memberikan kontribusi nyata dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat; (2) meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah; (3) menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat dan tanah; dan (4) berkontribusi nyata dalam menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.

Sehubungan dengan prinsip-prinsip pengelolaan pertanahan tersebut, Badan Pertanahan Nasional R.I. telah merumuskan 11 Agenda Prioritas sebagai berikut:

  1. Membangun kepercayaan masyarakat pada Badan Pertanahan Nasional RI
  2. Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran tanah, serta sertipikasi tanah secara menyeluruh di seluruh Indonesia
  3. Memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah
  4. Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam dan daerah-daerah konflik di seluruh tanah air
  5. Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa dan konflik pertanahan secara sistematis
  6. Membangun Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS) dan sistem pengamanan dokumen pertanahan di seluruh Indonesia
  7. Menangani masalah KKN serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat
  8. Membangun basis data penguasaan dan pemilikan tanah skala besar
  9. Melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan pertanahan yang telah ditetapkan
  10. Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional RI
  11. Mengembangkan dan memperbaharui politik, hukum dan kebijakan pertanahan.

Untuk mewujudkan 11 Agenda Prioritas di atas, perkenankan kami pada kesempatan ini menyampaikan penjelasan secara khusus mengenai Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) dan penanganan sengketa, konflik dan perkara pertanahan.

Program Pembaruan Agraria Nasional merupakan upaya bersama seluruh komponen bangsa untuk menata kembali struktur pemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat.  Selengkapnya, tujuan PPAN adalah (1) menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil, (2) mengurangi kemiskinan, (3) menciptakan lapangan kerja, (4) memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah, (5) mengurangi sengketa dan konflik pertanahan, (6) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup, dan (7) meningkatkan ketahanan pangan.

Apabila kita cermati, keseluruhan tujuan PPAN di atas bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan penyelesaian berbagai permasalahan bangsa.  Oleh karena itu pelaksanaannya perlu dipersiapkan secara hati-hati dan matang, mulai dari penetapan tanah-tanah yang tersedia, seleksi dan penetapan penerima manfaat, serta mekanisme pelaksanaannya, termasuk pembinaan, pengawasan dan pengendalian.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya tidak tertutup kemungkinan dapat menimbulkan potensi sengketa dan permasalahan baru yang tidak kita inginkan bersama.  Kemungkinan potensi sengketa dan permasalahan dimaksud bisa lahir akibat kekurangpahaman kita bersama terhadap pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional yang strategis ini.  Untuk itu diperlukan penyamaan persepsi, kesatuan gerak dan langkah semua pihak secara terkoordinasi.

Mengingat ruang lingkup Pembaruan Agraria yang membutuhkan keterlibatan aktif semua komponen bangsa, dengan demikian dukungan dari segenap jajaran Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat sangat diharapkan, sehingga Program Pembaruan Agraria Nasional dapat berjalan sesuai tujuan, demi kemaslahatan bangsa.

Badan Mediasi Nasional Untuk Penanganan Konflik di Indonesia

I.    PENDAHULUAN

PADA 17 April 2012 lalu Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mensahkan Undang Undang Penanganan Konflik Sosial (UU PKS).  Konflik sosial memang bukan fenomena sosial baru bagi Indonesia, tetapi konflik sosial dengan dimensi yang lebih beragam kerap terjadi justru setelah transisi menuju demokrasi yang berlangsung menyusul reformasi tahun 1998. Pemberlakuan sistem politik demokrasi liberal, pemisahan fungsi pertahanan-keamanan antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) – Polisi Republik Indonesia (POLRI), dan kebijakan Otonomi Daerah – tiga produk terpenting reformasi – belum berhasil mengakhiri konflik-konflik sosial di Indonesia, dan dalam beberapa kasus malah memperburuknya. Potensi-potensi konflik sosial bukannya hilang dengan sistem demokasi, pemisahan TNI-POLRI, dan otonomi daerah, tetapi justru semakin besar dan meluas.

Pertimbangan atau dasar pemikiran dari UU PKS, disebutkan dalam UU tersebut, antara lain (1) Menimbang bahwa perseteruan danatau benturan antarkelompok masyarakat dapat menimbulkan konflik sosial yang mengakibatkan terganggunya stabilitas nasional dan terhambatnya pembangunan nasional; dan (2) Menimbang bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penanganan konflik sosial masih bersifat parsial dan belum komprehensif sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat (UU PKS). Konflik sosial sendiri, menurut UU ini, didefinisikan “Konflik sosial, yang selanjutnya disebut konflik, adalah perseteruan danatau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga menganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional” (UU PKS, Bab II, Pasal 1).

Lima tahun lalu, tepatnya pada 2 Mei 2007, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), Universitas Gadjah Mada (UGM) menyelenggarakan lokakarya untuk mendiskusikan gagasan Badan Mediasi Nasional (BMN) sebagai cara alternatif untuk menangani konflik-konflik di Indonesia (Jawa Pos, 4 Mei 2007).  Lokakarya bertajuk “Lokakarya Penanganan Konflik Melalui Mediasi Untuk Penguatan Demokrasi Indonesia” dengan pemakalah tunggal Dr. Bambang W Soeharto telah mengidentifikasi dan menganalisis konflik-konflik di Indonesia dan menawarkan inisiatif penanganan konflk-konflik tersebut melalui pembentukan sebuah badan fungsional di bawah kepresidenan, yakni Badan Mediasi Nasional (BMN). Pemberlakukan UU PKS, dan lebih-lebih lagi karena eskalasi dan perluasan koflik di Indonesia, menjadi momentum penting untuk menghidupkan kembali gagasan BMN ini. 

II.    KONFLIK SOSIAL DI INDONESIA PERKEMBANGAN SEKARANG

Konflik terjadi ketika orang-orang atau pihak-pihak yang berbeda terlibat dalam kompetisi untuk mencapai tujuan-tujuan yang dipersepsikan, atau yang nyata, sebagai tujuan-tujuan yang tidak sejalan. Konflik juga  mengalami pergeseran, terutama sepanjang tahun 1990-an, dasawarsa pergeseran sistem internasional dari Perang Dingin menuju globalisasi. Dibandingkan era sebelumnya, tahun 1990-an dan 2000-an, konflik lebih banyak terjadi di dalam sebuah negara (intrastate) dibandingkan antar negara (interstate). Lebih banyak warga sipil yang menjadi korban dari konflik di dalam sebuah negara dibandingkan perang antar negara, di mana perang antar negara membawa jatuh korban sipil rata-rata 15 persen dan konflik sosial di dalam negara mencapai korban sipil rata-rata 90 persen, seperti tercatat dari konflik-konflik di bekas Yugoslavia, bekas Uni Soviet, Indonesia, dan beberapa negara lain. Sejumlah pakar telah membuat tipologi konflik dengan mengidentifikasi konflik dalam dua jenis, yakni konflik antar negara (interstate conflict) dan konflik di dalam negara (intrastate conflict).  Salah satu tipologi yang berguna untuk menjelaskan konflik-konflik tersebut diberikan oleh Miall, Ramsbotham dan Woodhouse (1999), yang membedakan konflik menurut para pihak yang terlibat. Menurut ketiga teoritisi ini, pada era Perang Dingin yang terjadi adalah symmetric conflicts, yaitu konflik antara pihak-pihak yang setara. Sementara konflik pasca Perang Dingin yang menonjol adalah asymmetric conflicts, yaitu konflik antara pihak-pihak yang tidak setara, termasuk konflik antara negara melawan kelompok masyarakat. Konflik sosial yang berlangsung di Indonesia masuk dalam kategori konflik asimetris ini, yang di dalam jenis konflik ini masuk pula konflik melibatkan negara dengan masyarakat atau konflik negara melawan masyarakat. Lima tahun sejak Lokakarya 2 Mei 2007, konflik masih kerap terjadi di Indonesia, baik di wilayah-wilayah laten konflik (misalnya Maluku, Papua, dan Aceh) maupun di wilayah-wilayah non-laten konflik. Konflik-konflik sosial di Indonesia, terutama yang pecah menyusul reformasi politik tahun 1998, secara umum bisa dikategorikan kedalam lima kelompok jenis atau karakteristik konflik. Pertama, konflik pada wilayah-wilayah yang secara historis, sosiologis, ekonomis, dan kultural memang telah memiliki potensi konflik. Termasuk dalam kategori ini adalah konflik-konflik di Aceh, Papua, Maluku, Kalimantan Barat, dan Poso. Kedua, konflik karena sengketa pertanahan dan sengketa wilayah. Ketiga, konflik pertambangan. Keempat, konflik keagamaan. Kelima, konflik-konflik berskala kecil tetapi yang tetap harus mendapatkan penanganan serius, seperti bentrokan antar kampung, bentrokan personel tentara dan polisi, dan tawuran masal. Konflik-konflik tersebut terjadi karena banyak faktor penyebab yang saling mendukung satu sama lain. Dalam setahun terakhir bahkan ada kecenderungan peningkatan eskalasi konflik, khususnya yang berlatar agama dan sengketa tanah. Elsam mencatat terdapat 63 kasus kekerasan agama dan 151 kasus sengketa tanah, masyarakat berhadapan dengan militer, masyarakat berhadapan dengan pemerintah, masyarakat berhadapan dengan perusahaan BUMN, dan yang paling banyak masyarakat berhadapan dengan korporasi. Komnas HAM menerima 603 pengaduan konflik tanah, tertinggi dibanding kasus lainnya. Satgas Pemberintasan Mafia Hukum menerima 1.065 pengaduan konflik lahan, atau 22% dari seluruh pengaduan yang diterima (Kompas, beberapa edisi).

III.    BADAN MEDIASI NASIONAL DAN STRATEGI PENANGANAN KONFLIK

Moore mengajukan 10 cara penyelesaian konflik, yakni 1) Penghindaran (conflict avoidance); 2) Diskusi dan penyelesaian masalah secara informal (informal discussion and problem solving); 3) Negosiasi (negotiation); 4) Mediasi (mediation); 5) Keputusan administratif (administrative decision); 6) Arbitrasi (arbitration); 7) Keputusan hukum (judicial decision); 8) Keputusan legislatif (legislative decision); 9) Paksaan tanpa kekerasan (nonviolent direct action); 10) Paksaan dengan kekerasan (violent direct action) (Moore, 19866-10).

Sedangkan, Miall, Ramsbotham dan Woodhouse membedakan resolusi konflik dalam empat langkah. Peacemaking adalah paksaan dengan kekuatan militer dalam penyelesaian konflik, di mana pihak yang terlibat konflik dipaksa untuk mencapai kesepakatan damai. Peacekeeping adalah penempatan tentara untuk memisahkan para pihak yang berkonflik, dan dalam tahapan ini tentara yang diterjukan juga melakukan peran sipil yaitu memantau serta mendukung intervensi kemanusiaan. Peace-enforcement adalah pemaksaan penyelesaian konflik oleh pihak ketiga yang powerful. Sementara yang terakhir, yaitu peacebuilding, adalah langkah-langkah menindaklanjuti hasil peacemaking dan peacekeeping dengan menyelesaikan persoalan struktural dan hubungan jangka panjang antar pihak yang terlibat (Miall, Ramsbotham dan Woodhouse, 1999 22).

Mengingat karakteristik konflik di Indonesia dan kondisi sosial-ekonomi-politik yang ada, kami merekomendasikan penyelesaian konflik dengan mediasi  di bawah BMN. Hasil-hasil penyelesaian melalui mediasi oleh BMN selanjutnya diperkuat oleh lembaga-lembaga penanganan konflik yang lain, mencakup lembaga penanganan konflik berdasarkan UU PKS seperti Satuan Tugas Penyelesaian Konflk (STPK), Pranata Adat, dan Pranata Sosial, dan TNI-POLRI sebagai pengemban utama tugas pertahanan-keamanan. BMN akan melakukan proses mediasi penanganan konflik-konflik, memperkuat kecakapan aparat pemerintah tentang mediasi, pendidikan masyarakat untuk pencegahan konflik, dan pemulihan keamanan masyarakat pasca konflik. Sesuai peran dan lingkup pekerjaan, BMN akan memiliki divisi atau satuan tugas sebagai berikut (1) Divisi dokumentasi, survai dan mapping; (2) Divisi pendidikan, penyuluhan, dan pencegahan konflik; (3) Divisi penyelesaian konflik; dan; (4) Divisi pemantauan, pencari fakta, dan penguatan perdamaian pasca-konflik.

IV.    ORGANISASI BMN

BMN akan merupakan sebuah lembaga fungsional dan lembaga kerja di bawah presiden. Untuk melancarkan fungsi dan pekerjaan, BMN bisa membuka cabang yang bersifat adhoc di beberapa daerah konflik yang memerlukan. Dalam keadaan damai, BMN secara terus-menerus dan aktif melakukan studi, pendokumentasian, pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan tentang konflik sosial, terutama di wilayah-wilayah dengan potensi konflik yang tinggi. Kalau kita berangkat dari identifikasi Moore (1986) tentang cara-cara penyelesaian konflik, maka mediasi sesungguhnya hanyalah satu dari banyak cara penyelesaian konflik. Mediasi sebagai cara penyelesaian konflik menempatkan keputusan final penyelesaian sepenuhnya berada pada para pihak yang berkonflik dalam esensi win-win solution. Para pihak yang terlibat konflik sendiri yang membuat keputusan untuk menyelesaikan konflik mereka setelah berunding di bawah arahan mediator. Mediasi meminimalisir kelemahan-kelemahan dari metode penyelesaian konflik yang lain, sehingga kalau diformalkan dalam sebuah badan maka mediasi dapat berkontribusi bagi pengembangan paradigma baru penyelesaian konflik dalam rangka menjaga ketahanan nasional. Kendati demikian, penyelesaian konflik melalui mediasi membutuhkan penguatan dari cara penyelesaian konflik yang lain, seperti penegakan hukum dan bantuan oleh aparat keamanan. BMN juga berperan sebagai rujukan bagi lembaga-lembaga penanganan konflik sesuai UU PKS, yang juga menekankan mediasi sebagai cara atau metode penyelesaian konflik. Rujukan yang dimaksud bisa berupa hasil studi atau dokumentasi tentang masalah yang menjadi pangkal konflik, proses penyelesaian konflik, proses mediasi dan negosiasi, program dan tindakan-tindakan penguatan konflik, dalam hal penetapan status daerah konflik, dan sejauh mana pelibatan aparat kemanan TNI-POLRI harus dilibatkan dalam penanganan konflik.  Selain sebagai rujukan dan pelaksana dalam penanganan konflik, BMN juga akan berperan aktif dalam harmonisasi peraturan perundangan dan koordinasi antar lembaga dalam penanganan konflik.


V.    PENUTUP

Konflik dengan beragam jenis dan dimensi merupakan ancaman serius bagi Indonesia, bukan hanya ancaman terhadap proses konsolidasi demokrasi tetapi juga ancaman terhadap eksistensi negara. Konflik sosial yang tidak tertangani menganggu stabilitas keamanan. Konflik sosial – baik yang telah manifes maupun potensi yang tersembunyi – perlu mulai ditangani secara terpadu.Penyelesaian konflik sosial secara komprehensif antara pemerintah dan pemerintah daerah dan lembaga-lembaga yang berkompeten. Pemberlakuan UU PKS dan kehadiran BMN akan membantu penyelesaian konflik di Indonesia dan sekaligus mendorong sinergi lembaga-lembaga pemerintah dalam penanganan konflik. Di dalam UU PKS, ruang lingkup penanganan konflik meliputi (a). Pencegahan konflik; (b). Penghentian konflik; dan (c). Pemulihan pasca konflik (UU PKS, pasal 5). UU PKS juga mengatur tentang lembaga penyelesai konflik, yakni ”Kelembagaan penyelesaian konflik terdiri atas Pranata Adat danatau Pranata Sosial, serta Satuan Tugas Penyelesiaan Konflik Sosial” (UU PKS pasal 41). Satuan tugas yang disebutkan terakhir bersifat adhoc dan dibentuk jika sebuah wilayah tidak memiliki Pranata Adat atau Pranata Sosial yang memadai. Sementara itu, tanggungjawab penyelesaian dan penanganan konflik secara umum berada pada pemerintah dan pemerintah daerah, yang ketika terjadi konflik, harus bertindak dengan mengedepankan Pranata Adat, Pranata Sosial, dan Satuan Tugas Penanganan Konflik.

VI.    REFERENSI

Bahar, Saafroedin, Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia, Jakarta  Sinar Harapan, 2002.

Bertrand, Jacques, Legacies of the Authoritarian Past Religious Violence in Indonesia Moluccan Islands, dalam Pacific Affairs, Vol. 75, No. 1, Spring 2002.

Burton, John dan Frank Dukes Practices in Management Setllement and Resolution, London The Macmillan Press, 1990.

Brown, Michael E., Ethnic and Internal Conflicts Causes and Implication, dalam Chester A. Crocker et al, Turbulent Peace The Challenge of Managing International Conflict, Washingthon United States Institute of Peace, 2001.

Bungin, Burhan, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Jakarta Rajawali Press, 2003.

Crawford, Beverly “The causes of cultural conflict an institutional approach”

Dalam Beverly Crawford and Ronnie D. Lipschutz, ed., The Myth of

Ethnic conflict Politics, Economics, and Cultural Violence, Berkeley University of California at Berkeley, 1998.

Dahrendorf, Ralf, Konflik-konflik dalam Masyarakat Industri Sebuah Analisa-Kritik, Jakarta PT. Rajawali Press, 1986

Deutsch, Morton, The Resolution of Conflict Constructive and Destructive Processes, New Haven Yale University Press, 1973.

Deputi Bidang Pengkajian dan  Pengembangan Sistem Informasi Lembaga Informasi Nasional Republik Indonesia, Dinamika Konflik dalam Transisi Demokrasi, Yogyakarta Iphedham, 2004.

Gélinas, Jacques B., Juggernaut Politics Understanding Predatory Globalization, London  Zed Books Ltd, 2003.

Giddens, Anthony, Runaway World  How Globalization is Reshaping Our Lives, terjemahan, Jakarta  PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Haley, Nolan dan M. Jacqualine, Alternative Dispute Resolution. USA  West Publishing Co., 1992.

Harris, Peter dan Ben Reilly, Demokrasi dan Konflik yang Mengakar  Sejumlah Pilihan untuk Negosiator, Jakarta

Klinken, Gerry Van, The Maluku Wars Bringing Society Back In, dalam Inside Indonesia, No. 71, April 2001.

Kovach, Kimberlee, Mediation Principle and Practice, St. Paul  West Publishing Co, 1994.

Kriesberg, Louis, Social Conflicts, 2nd edition, New Jersey Prentice Hall, 1982.

Miall, Hugh, Oliver Ramsbotham dan Tom Woodhouse, Contemporary Conflict Resolution, Cambridge  Polity Press, 1999.

Moore, Christopher W., The Mediation Process  Practical Strategies for Resolving Conflict, San Fransisco Jossey-Bass, 1986.

Reforma Agraria Sebagai Jalan Keadilan

Pendahuluan

 

62 tahun Indonesia merdeka dari penjajah, ternyata tidak cukup waktu bagi bangsa ini untuk membebaskan diri dari penjajahan lain. Kumandang “merdeka” yang selalu dipekikkan itu, hanya mampu memberikan ruang awal bagi terbukanya kesempatan lain agar segala cita-cita kemerdekaan bisa terengkuh utuh dalam pangkuan bangsa. Sehingga setengah abad lebih kita mendayung perjalan kapal bangsa, masalah-masalah kita sebelum kemerdekaan dan pasca kemerdekaan—selain kolonialisme asing— seperti kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan tetap belum terselesaikan.

 

Seperti kita lihat dan kita rasakan bersama, bahwa muara dari semua persoalan tersebut adalah terusiknya rasa keadilan rakyat. Sehingga untuk memecahkan masalah yang bersifat struktural tersebut diperlukan kebijakan yang menyentuh akar masalahnya. Setelah melakukan kajian yang panjang, ditemukan bahwa inti dari masalah tersebut adalah kecil atau tiadanya aset atau akses masyarakat—khususnya masyarakat miskin—kepada sumber-sumber ekonomi terutama tanah, dan terbatasnya akses ke sumber sosial serta ke sumber politik. Dari sini bisa dilihat bahwa Reforma Agraria merupakan kebijakan mendasar yang langsung dapat membuka akses terhadap kedua sumber itu.

 

Perspektif Keadilan sebagai Goal

 

Cita-cita tertinggi dari kemerdekaan adalah terwujudnya keadilan sosial. Kemerdekaan sendiri adalah proses pembebasan—yang oleh Bung Karno disebut sebagai pintu bagi pembebasan-pembebasan lainnya—seperti bebas dari kebodohan, bebas dari kemiskinan, bebas dari ketergantungan, dan bentuk-bentuk penindasan lainnya. Selain itu proses pembebasan sekaligus merupakan rangsangan kreatif bagi perwujudan keadilan sosial tersebut. Akan tetapi pasca Indonesia merdeka, agaknya keadilan sosial seakan-akan menjauh dari keseharian bangsa ini. Bahkan alih-alih keadilan yang mewujud, justru kesenjangan yang terjadi. Sebagai contoh bisa dilihat dari konsentrasi kepemilihan aset. Di mana sedikit penduduk negri ini menguasai sebagian besar aset.

 

Menyadari fakta demikian, maka harus ada pendekatan yang benar-benar mendasar. Pendekatan ini akan memberikan ruang bagi seluruh rakyat Indonesia untuk sejahtera. Data-data menyebutkan bahwa jumlah orang miskin (per Maret 2007) di Indonesia mencapai 37,17 juta jiwa atau 16,58 persen dari total populasi penduduk. Dari total jumlah tersebut, desa merupakan yang terbesar (21,90 persen). Dari total penduduk miskin di pedesaan ini, 56 persennya menggantungkan kehidupan sepenuhnya kepada sektor pertanian. Selain itu, dari total penduduk miskin pedesaan sekitar 90 persen adalah mereka yang bekerja.

 

Selain kemiskinan, data pengangguran juga masih sangat tinggi. BPS (Pebruari 2007) menyebutkan bahwa 9,75 persen dari total angkatan kerja penduduk merupakan penduduk menganggur (setara 10,55 juta jiwa). Kedua fakta di atas menjelaskan bahwa ada masalah struktural yang tengah kita hadapi bersama. Belum lagi masalah-masalah yang disebut sebagai “colonial mode of development” yang mewujud dalam kerangka pembangunan yang kolonialistik, eksploitatif, tidak membebaskan, myopic, dan berperspektif jangka pendek. Setelah membebaskan diri dari paradigma berpikir demikian, kita juga harus membebaskan diri kita dari model kebijakan ujung pipa (end pipe policies).

 

Dalam konteks demikian, maka pendekatan paling mendasar dari masalah kemiskinan, pengangguran, adalah empowering mode of development, serta kebijakan dan program pembangunan langsung yang mengatasi masalah dasar dan sekaligus masalah struktural.

 

Sebelum menjelaskan ontologi pendekatannya, terlebih dahulu juga perlu diposisikan penyebab kemiskinan. Dari berbagai kajian akademik, ternyata ditemukan bahwa masalah kemiskinan bukan masalah pendapatan, tetapi masalah aset. Aset adalah hak dasar dari semua warga. Pemenuhan atas kebutuhan akan aset secara langsung berarti memenuhi kebutuhan hak dasar warganya. Sehingga kebijakan berbasis peningkatan aset menemukan relevansinya dengan apa yang dikemukakan oleh Sen. Sebab kepemilikan akan aset akan berdampak kepada terbebaskannya manusia dari belenggu kemiskinan, serta terpenuhinya hak-hak dasar rakyat seperti akses kepada sumberdaya ekonomi maupun politik.

 

Rakyat yang memiliki aset akan langsung memiliki semangat inovatif dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam kerangka demikian maka Reforma Agraria menjadi bagian penting yang harus dijalankan. Mengapa? Karena Reforma Agraria akan memberikan peluang bagi rakyat miskin tidak bertanah menjadi memiliki aset. Selain itu, secara politik Reforma Agraria adalah strategi dasar negara untuk membangun struktur politik, ekonomi, dan sosial yang berkeadilan.

 

Jalan Kemajuan yang sudah dilalui banyak Orang

 

Sebenarnya, Reforma Agraria di Indonesia bukan kebijakan baru. Kebijakan Reforma Agraria di Indonesia sama waktunya dengan kebijakan serupa di Taiwan. Namun ketika Taiwan terus melesat dengan industrialisasinya, kita malah mandeg sebab kebijakan Reforma Agraria ini dihentikan di tengah jalan. Beberapa studi mutakhir juga menjelaskan betapa urgen peran Reforma Agraria ini dalam melesatkan bangsanya kepada kemajuan. Easterly (2001) menyatakan: “ growth benefit for people most where acces to land fair”. Senada dengan kesimpulan di atas, kajian terbaru Worl Bank (2007) juga mencatat bahwa penurunan kemiskinan di China dari 53 persen tahun 1981 menjadi hanya 8 persen tahun 2001 merupakan hasil positif dari Reforma Agraria yang diterapkan pada tahun 1978. Begitu juga dengan Rodrik dalam DFID (2007) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi justru lebih cepat di negara-negara yang memiliki distribusi tanah yang lebih merata.

 

Bercermin dari kemajuan bangsa-bangsa di atas, sudah saatnya kita kembali ke sistem, aturan, dan kebijakan politik yang selama ini sudah disadari sebagai mandat dari konstritusi kita, yaitu Reforma Agraria. Selain agar kita tidak semakin terlambat, kebijakan ini juga sebagai bentuk warisan yang harus dinikmati oleh anak cucu kita kelak. Reforma Agraria mendasarkan diri pada sebuah proses distribusi yang adil atas suatu aset—dalam hal ini tanah. Tanah sendiri bagi kebanyakan manusia merupakan identitas yang melekat kepadanya status kebangsaan dan kenegaraannya. Terlebih bagi rakyat Indonesia, Undang-undang Pokok Agraria No. 05 Tahun 1960 menyebutkan bahwa hubungan warga dengan tanahnya bersifat abadi dan asai. Dari hubungan ini sangat berdampak kepada kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, dan keberlanjutan, serta harmoni bangsa dan Negara Indonesia.

 

Untuk itu, maka Reforma Agraria tidak lain untuk melanjutkan amant UUD 45 di mana tanah dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hal ini mungkin karena negara memiliki kekuasaan atas seluruh bumi, air, dan ruang angkasa. Maka dengan Reforma Agraria berarti negara telah mendorong proses tegaknya keadilan sosial yang dicita-citakan bangsa ini sejak merdeka.

 

Dalam posisi dengan maka tanah adalah modal kehidupan. Sehingga agar ia efektif, maka harus didasarkan kepada empat prinsip berikut: (i) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; (ii) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan hidup berkeadilan; (iii) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, dan kebangsaan Indonesia; dan (iv) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk menata kehidupan yang harmonis dan mengatasi berbagai konflik sosial.

 

Dengan penjelasan di atas, menjadi semakin jelas, bahwa Reforma Agraria merupakan agenda yang harus menjadi mainstreaming bangsa ini kini dan esok. Ia akan menyelesaikan berbagai masalah struktural bangsa yang selama ini tidak kunjung selesai. Ia juga akan mengembalikan identitas kewargaan yang selama ini kadang tidak terdengar karena alienasi pembangunan.

 

Jalan Terjal Perlu Kebersamaan

 

Merujuk kepada paparan singkat di atas, maka nyata sekali bahwa Reforma Agraria bukanlah program yang ringan untuk dilaksanakan. Cakupan dan dampak dari program ini berdimensi sangat luas bagi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Oleh karenanya gerakan ini menuntut keterlibatan penuh seluruh komponen bangsa.

 

Selain itu pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa gerakan Reforma Agraria ini juga harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, pikiran, dan sumberdaya; tiada mengenal gerak setengah-setengah—apalagi penuh kebimbangan dan serba tidak pasti. Sehingga Reforma Agraria mampu memberikan ruang gerak agar terjadi dinamika sosial yang positif bagi masyarakat, agar apa yang menjadi cita-cita tertinggi dari kemerdekaan bangsa ini, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, benar-benar bisa kita rasakan bersama.