Langkah Ke Arah Kebijakan Untuk Memecahkan Persoalan Mendasar

Kalau kita mau mengatasi persoalan-persoalan struktural sebagaimana telah dijelaskan di atas, end pipe policies, yakni kebijakan yang terjebak hanya mengatasi symptom dari permasalahan namun

gagal mengidentifikasikan dan memecahkan akar persoalan, tidak akan mampu mengatasi persoalan. Bahkan, akar masalah yang tidak terpecahkan akan melahirkan berbagai persoalan-persoalan

baru ikutannya. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang memang langsung mengatasi persoalan-persoalan structural ini. Namun demikian, tetap harus diingat bahwa dalam mengatasi

persoalan struktural kita tetap harus taat asas pada konstitusi, harus taat asas kepada ideologi yang kita anut.

Kita mengenal apa yang disebut sebagai structural adjustment program (SAP).3 Telah lama dikampanyekan bahwa SAP merupakan pendekatan kebijakan yang dapat menyelesaikan persoalan

struktural di tanah air. Tetapi pertanyaannya kemudian adalah: apakah SAP itu taat asas dengan konstitusi dan taat asas dengan ideologi negara, Pancasila? Kalaupun SAP tidak bersifat generik

dan cukup efektif mengatasi “persoalan mendasar” tetapi ahistoris dan tidak taat asas pada ideologi dan konstitusi kita, apakah kebijakan semacam ini layak dijalankan? Tentu, kita harus kritis terhadap

hal ini. Sebagai ilustrasi, untuk mengatasi “persoalan mendasar” lambatnya pertumbuhan ekonomi, SAP cenderung akan berupaya memaksimalkan investasi, terutama investasi asing—baik dalam bentuk portfolio investment di pasar modal maupun dalam bentuk foreign direct investment. Fokus ini umumnya tanpa memperhatikan bagaimana dampaknya terhadap kesenjangan dan rasa keadilan. Mungkin SAP menyebabkan pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi; namun, melahirkan senjangnya distribusi pendapatan serta melahirkan ketidakadilan baru bagi rakyat. Dan, hal ini

tentunya tidak sejalan dengan mandat yang tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

Saya telah kemukakan bahwa kita tidak bisa lagi mengatasi persoalan-persoalan struktural menggunakan colonial mode of development dan end pipe policies. Oleh karena itu, yang kita

butuhkan adalah kebijakan atau program yang dengannya akar persoalan utama diselesaikan; hulu persoalan diatasi, dan kerak-karat sepanjang pipa dibersihkan. Hanya dengan empowering mode of

development, serta kebijakan dan program pembangunan yang langsung mengatasi persoalan dasar, masalah-masalah structural yang dihadapi negeri ini dapat diatasi.

Kita ambil sebagai contoh, kemiskinan. Kajian-kajian di seluruh dunia, baik di negara-negara Asia, Afrika maupun Amerika Latin, mengkonfirmasi bahwa rakyat miskin hampir tidak pernah berbicara mengenai pendapatan. Pendapatan menjadi variabel yang irrelevant karena seberapa pun “besarnya” pendapatan yang diperoleh, tetap tidak mencukupi untuk bisa memberikan kehidupan yang layak. Rakyat miskin itu, dengan apa pun bahasa dan ungkapan kata yang mereka gunakan, hampir selalu bicara mengenai aset apa yang bisa dikelola dan bagaimana dia bisa menggarap aset itu untuk sandaran kehidupannya, untuk meningkatkan kehidupan keluarganya. Rakyat miskin juga hampir selalu berbicara kesempatan atau akses apa yang mereka bisa dapatkan agar bisa meningkatkan derajad dan kualitas kehidupannya. Jadi ketika kita berbicara tentang kemiskinan, mau tidak mau kita harus berbicara mengenai aset dan akses rakyat miskin pada sumber-sumber kehidupan — yaitu, sumber-sumber ekonomi dan sumber-sumber politik.

Berbicara mengenai aset dan akses bagi rakyat miskin berarti kita berbicara mengenai hak dasar. Secara akademik, hak dasar rakyat bisa dibagi dua. Pertama, yang disebut sebagi given rights

yaitu hak-hak yang bisa lahir dari keharusan konstitusi, Undangundang, peraturan, norma, budaya, atau lainnya. Kedua, yang disebut exercised rights yaitu hak-hak yang perwujudannya harus diperjuangkan. Karena kita menghadapi persoalan struktural, yang given rights itu pun ternyata masih harus diperjuangkan, apalagi the exercised rights. Karena itu, kita harus wujudkan langkah yang harus kita tempuh pertama adalah given rights melalui proses dan kebijakan pembangunan yang tepat. Paralel dengan itu, exercised rights dikembangkan sebagai bagian penting dari komponen Negara modern. Dalam pengertian ini, konsepsi Amartya Sen menemukan bentuknya, yaitu bahwa pembangunan sebagai proses pembebasan. Proses pembebasan ini dilakukan dengan memberikan hak-hak rakyat melalui pengembangan akses rakyat —masyarakat— pada sumber-sumber ekonomi dan sumber-sumber politik.

 

Rakyat harus punya akses untuk membebaskan dirinya tentu melalui proses pembangunan — dari kebodohan, ketertinggalan, ketertindasan, sempitnya ruang gerak kehidupan, ketergantungan,

rasa takut. Dan, untuk ini rakyat harus punya aset yang dapat dikelola dan punya akses untuk memberdayakan asetnya. Petani harus punya tanah dan punya akses pada modal, teknologi, pasar,

manajemen dan seterusnya. Petani harus punya alat-alat produksi, punya kapasitas dan kemampuan untuk menyuarakan kepentingannya. Punya akses untuk melahirkan inovasi-inovasi sosial yang menjadi prasyarat lahirnya perubahan sosial di pedesaan. Dalam kerangka itulah, reforma agraria menjadi bagian penting yang harus dijalankan. Reforma agraria merupakan strategi dasar negara- negara untuk membangun struktur politik, ekonomi, dan social yang berkeadilan. Bagaimana kita, sebagai bangsa, memandang dan memaknai reforma agraria ini?

Indonesia mulai menjalankan land reform tahun 1961, bersamaan dengan Taiwan memulai program reforma agrarianya. Taiwan berhasil dan terus melanjutkan strategi ini dalam pembangunannya,

namun Indonesia berhenti pada pertengahan tahun enam puluhan. Dampaknya, empat dekade kemudian timbul persoalan ketidakmerataan distribusi penggunaan tanah pertanian di Indonesia

yang disertai dengan serangkaian masalah struktural sebagaimana yang telah dikemukakan di depan.4 Tanpa adanya reforma agraria, persoalan keadilan sosial tampaknya sulit sekali untuk diatasi

dan masih menjadi bagian penting yang harus diperjuangkan dalam proses pembangunan kita.

 

Efektivitas reforma agraria dalam mengatasi kemiskinan sudah teruji. Prof. Easterly (2001) menyatakan: “growth benefits poor people most where access to land is fair.” World Bank (2007) mencatat bahwa penurunan kemiskinan di China dari 53 persen tahun 1981 menjadi hanya 8 persen tahun 2001 merupakan hasil positif dari penerapan reforma agraria yang dimulai pada tahun 1978.

Lebih jauh lagi, Prof. Rodrik dalam DFID (2007) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi justru lebih cepat di negara-negara yang memiliki distribusi tanah yang lebih merata.

Syukurlah kesadaran baru atas pentingnya mewujudkan keadilan sosial melalui reforma agraria sudah mulai tumbuh dan berkembang kembali di masyarakat kita serta di berbagai negara lain.

Bagaimana reforma agraria bisa mengatasi masalah itu? Bagaimana perspektif reforma agraria di negara-negara yang telah menjalankan, dan bagaimana kita akan menjalankannya? Negara-negara yang pada saat ini mempunyai struktur sosial, ekonomi dan politik yang lebih baik, seperti Jepang, Taiwan, China serta beberapa negara lain adalah negara yang telah mengalami, menjalankan, atau sedang merevitalisasi program reforma agrarianya. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, akan terlebih dahulu saya paparkan peran sentral tanah bagi kita dan bagaimana reforma agraria akan kita jalankan.

Leave a comment