Kemiskinan, Pengangguran, dan Colonial Mode Of Development

Apakah proses-proses pembebasan sudah cukup jauh kita lalui? Apa persoalan-persoalan utama yang kita hadapi? Mari kita lihat terlebih dahulu persoalan kemiskinan. Data kemiskinan terakhir (Maret 2007) dari BPS menunjukkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 37,17 juta jiwa atau 16,58 persen dari total populasi Indonesia. Di kawasan perkotaan, insiden kemiskinan tersebut adalah 13,36 persen, sedangkan di kawasan pedesaan mencapai 21,90 persen. Ini menunjukkan bahwa kemiskinan paling banyak dialami penduduk pedesaan yang pada umumnya adalah petani. Dari total rakyat miskin di Indonesia, sekitar 66 persen berada di pedesaan dan sekitar 56 persen menggantungkan hidupnya sepenuhnya pada pertanian. Dari seluruh penduduk miskin pedesaan ini ternyata sekitar 90 persen bekerja — bekerja keras tetapi tetap miskin. Hal ini terutama disebabkan oleh lemahnya akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi dan sumber-sumber politik termasuk yang terutama adalah tanah. Dan, peluruhan kehidupan di pedesaan ternyata memiliki percepatan yang lebih tinggi daripada perkotaan. Hal ini menandakan pentingnya kita menata kembali kehidupan di pedesaan, dalam konteks keadilan spasial. Selanjutnya, UUD 1945 pasal 27 ayat 2 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan yang layak untuk kehidupannya. Berkenaan dengan hal ini, bagaimana keadaan kita sekarang? Pengangguran di Indonesia relatif tinggi. Angka pengangguran terbuka menurut data terakhir (Februari 2007) mencapai 10,55 juta jiwa (9,75 persen dari total angkatan kerja), yang tersebar di Pulau Jawa, yaitu 10,39 persen dari total angkatan kerja di Pulau Jawa, disusul Pulau Sulawesi dan Pulau Sumatera, masingmasing 9,94 persen dan 9,62 persen. Sedangkan angka setengah pengangguran di Indonesia (per Februari 2006, karena data tersebut belum tersedia untuk Februari 2007) mencapai 29,92 juta jiwa (28,16 persen); paling banyak terdapat di pedesaan yaitu 23,00 juta jiwa (36,76 persen) dan di perkotaan 6,92 juta jiwa (15,83 persen).

 

Lemahnya kesempatan kerja di pedesaan mendorong angkatan kerja mengalir ke perkotaan yang ternyata juga belum mampu menyerap angkatan kerja yang ada. Akibatnya, urbanisasi yang berlangsung diiringi dengan bertambahnya pengangguran beserta berbagai eksesnya di perkotaan. Kemiskinan dan pengangguran yang relatif tinggi tersebut adalah cerminan dari persoalan-persoalan struktural yang kita hadapi. Mari kita lihat sekarang dengan perspektif yang lebih jauh. Bagaimana kemiskinan dan masalah ketenagakerjaan ini sepertinya demikian rumit untuk bisa kita pecahkan? Persoalan-persoalan struktural ini lahir dari akumulasi persoalan sebelum kemerdekaan dan sejak kemerdekaan. Adalah wajar bila persoalan keadilan social itu tidak terwujud pada saat Indonesia di bawah penjajahan. Tetapi ketika kita telah merdeka, adalah wajar kemudian kita berharap bahwa keadilan sosial di negeri merdeka ini membaik. Tetapi, data di atas menunjukkan bahwa kita masih harus berjuang keras untuk mewujudkannya. Perjuangan ini harus kita mulai terlebih dahulu secara konsepsional dengan membebaskan diri kita, nilai-nilai pemikiran, dan praksis — dari colonial mode of development, yaitu kerangka pemikiran pembangunan yang kolonialistik, eksploitatif, tidak membebaskan, myopic, dan berperspektif jangka pendek.2 Dan setelah itu, kita juga harus membebaskan diri kita dari perspektif penanganan masalah berbasis simptomatik, kita harus akhiri end pipe policies atau kebijakan ujung pipa. Dengan colonial mode of development, kita tidak akan mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan end pipe policies kita tidak akan mampu mengatasi persoalan structural yang ada. Akibatnya, selain masalah kemiskinan yang relative tinggi dan pengangguran yang demikian persisten, kesenjangan sosial-ekonomi menjadi melebar. Muara dari masalah-masalah ini adalah persoalan keadilan sosial. Distribusi pendapatan Indonesia belum tersebar secara merata. Indeks Gini mengalami peningkatan dari 0,308 (tahun 1999) menjadi 0,329 (2002) dan menurut data terakhir dari BPS 0,363 (2005). Indeks Gini tersebut dihitung dengan pendekatan pengeluaran; bila dihitung dengan pendekatan kepemilikan aset, tentu akan lebih besar. Dan hal ini menandakan kesenjangan yang semakin melebar. Lebarnya kesenjangan pendapatan juga terjadi antara petani dan non-petani. Dengan tenaga kerja sebanyak 44 persen dari total tenaga kerja, Produk Domestik Bruto (PDB) sector pertanian-yang merupakan proksi dari pendapatan petani-hanya 13 persen dari PDB total. Pada tahun yang sama (2006), sektor industry dengan tenagakerja 12 persen dari total tenagakerja memiliki PDB sejumlah 28 persen dari PDB total. Pada sektor pertanian, insiden kemiskinan mencapai 56,07 persen, jauh melebihi yang terjadi di sector industri yakni 6,77 persen. Banyaknya kemiskinan di sektor pertanian berkaitan dengan penguasaan tanah yang timpang. Data terakhir menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga petani gurem (yakni rumah tangga petani dengan penguasaan tanah kurang dari 0,5 ha) mencapai 56,5 persen dari total jumlah rumah tangga petani.

Leave a comment