Reforma Agraria Sebagai Kebijakan Pembangunan Yang Mendasar

Reforma agraria (RA): strategi dasar pembangunan

Di berbagai belahan dunia, reforma agraria merupakan jawaban yang muncul terhadap masalah ketimpangan struktur agraria, kemiskinan dan ketahanan pangan, dan pembangunan wilayah. Berbagai negara, secara beragam mengimplementasikan reforma agraria sesuai dengan struktur dan sistem sosial, politik dan ekonomi yang dianut masing-masing. Terdapat kesamaan pandang dalam meletakkan konsep dasar pembaruannya: keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Reforma agraria sebagai strategi dasar pembangunan telah ditempuh oleh hampir semua negara yang mempunyai struktur politik, ekonomi, dan sosial yang baik. Pada penghujung abad yang lalu, reforma agraria telah menjadi bagian penting strategi negara-negara di dunia13 untuk menata struktur politik, ekonomi, dan sosialnya dalam memasuki abad sekarang ini.

Negara-negara Amerika Latin —seperti Venezuela, Brazil, Uruguay, El Salvador, Bolivia sebagai contoh—dan demikian juga negara-negara Asia —seperti Vietnam, Thailand, Filipina, India—telah menjadikan reforma agraria sebagai strategi dasar pembangunannya. Demikian juga Taiwan —yang berhasil dalam melaksanakan reforma agraria—masih terus melanjutkan strategi ini dalam proses pembangunannya.

Pengalaman pelaksanaan reforma agraria di berbagai negara, menunjukkan bahwa hampir tidak ada perbedaan pendapat mengenai reforma agraria sebagai strategi dasar pembangunan, perdebatan akan muncul pada tataran implementasi model apa yang akan diterapkan oleh suatu negara. Memetik pengalaman dari berbagai negara, reforma agraria secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi empat kategori: (1) radical land reform, tanah milik tuan tanah yang luas diambil alih oleh pemerintah tanpa ganti kerugian, dan selanjutnya dibagikan kepada petani tidak bertanah, (2) land restitution, tanah-tanah perkebunan luas yang berasal dari tanah tanah masyarakat diambil alih oleh pemerintah, kemudian tanah tersebut dikembalikan kepada pemilik asal dengan kompensasi, (3) land colonization, pembukaan dan pengembangan daerah-daerah baru, kemudian penduduk dari daerah yang padat penduduknya dipindahkan ke daerah baru tersebut, dan dibagikan tanah dengan luasan tertentu, dan (4) market based land reform (market assisted land reform), land reform yang dilaksanakan berdasarkan atau dengan bantuan mekanisme pasar yang bisa berlangsung bila tanah tanah diberikan hak (land titling) agar security in tenureships bekerja untuk mendorong pasar finansial di pedesaan. Model-model ini umumnya tidak bisa memenuhi prinsip land reform untuk melakukan penataan penguasaan dan pemilikan tanah yang adil.

RA: upaya bersama bangsa mewujudkan keadilan sosial

Cita-cita reforma agraria yang digagas oleh para pendiri bangsa sejak tahun 1946 untuk menata struktur keagrariaan nasional dari yang feodalistik dan kolonialistik —yang dicirikan oleh adanya sistem pertuanan dan konsentrasi aset keagrariaan pada sekelompok kecil masyarakat—menjadi struktur keagrariaan yang berkeadilan sosial, secara resmi dicanangkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 1 Januari 1961. Pencanangan reforma agraria (yang saat itu disebut sebagai land reform) —bersamaan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (yang merupakan UU pelaksana UUPA)—pada saat Pencangkulan Pertama Kali Pembangunan Semesta Nasional yang merupakan pencanangan pembangunan semesta nasional. Dengan demikian reforma agraria diposisikan sebagai bagian dari strategi dasar dari pembangunan.

Dalam perjalanannya, reforma agraria yang dilaksanakan tahun 1961 terhenti pada tahap awal pelaksanaannya di pertengahan tahun sembilan belas enampuluhan. Kenyataan ini menjadikan persoalan-persoalan keadilan sosial masih menjadi bagian penting yang harus diperjuangkan dalam proses pembangunan Indonesia.

Kesadaran akan pentingnya menata kembali kehidupan bersama yang berkeadilan sosial melalui reforma agraria mencapai puncaknya dengan diterbitkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang mengharuskan dilakukannya pembaruan agraria atau reforma agraria. Kemudian, MPR RI mengingatkan kembali perlunya pelaksanaan reforma agraria ini dengan dilahirkannya Keputusan MPR Nomor 5 Tahun 2003. Hal ini dimaknai sebagai bentuk konsensus sosial dan konsensus politik baru dalam mewujudkan keadilan sosial, konsensus baru yang taat azas dan taat konstitusi.

Bila dicermati secara seksama, jiwa dan isi TAP MPR tersebut di atas sangat konsisten dengan Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28. Lebih lanjut, isi TAP MPR tersebut juga sejalan dan konsisten dengan jiwa dan isi Undang-undang Pokok Agraria, undang-undang yang dilahirkan oleh para pendiri bangsa melalui proses perumusan yang memakan waktu sekitar 14 tahun (1946-1960). Undang-undang Pokok Agraria inilah yang menjadi payung hukum dan dasar dari pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia.

Sebagai tindak lanjut konsensus sosial dan konsensus politik sebagaimana dijelaskan diatas, reforma agraria dituangkan dalam BAB IV.1.5 Mewujudkan Pembangunan yang Lebih Merata dan Berkeadilan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 : “… menerapkan sistem pengelolaan pertanahan yang efisien, efektif serta melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi…, perlu dilakukan penyempurnaan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui … land reform.”

RA: jawaban terhadap masalah dan tantangan kekinian

Di samping lahirnya konsensus politik dan sosial yang baru serta peneguhan pelaksanaan mandat konstitusi dan undang- undang, reforma agraria saat ini semakin penting untuk dilaksanakan mengingat kenyataan-kenyataan berikut. Sebagai bangsa, sebagaimana telah diuraikan di atas, saat ini kita masih menghadapi persoalan persoalan struktural yang mewujud dalam bentuk: (a) tingginya tingkat pengangguran, (b) besarnya kemiskinan, (c) tingginya konsentrasi aset agraria pada sebagian kecil masyarakat, (d) tingginya sengketa dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia,17 (e) rentannya ketahanan pangan dan ketahanan enerji rumah tangga dari sebagian besar masyarakat kita, (f) semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup, dan (g) lemahnya akses sebagian terbesar masyarakat terhadap hak-hak dasar rakyat termasuk terhadap sumber-sumber ekonomi keluarga.

Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, reforma agraria ditujukan untuk: (1) menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil, (2) mengurangi kemiskinan, (3) menciptakan lapangan kerja, (4) memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah, (5) mengurangi sengketa dan konflik pertanahan, (6) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup, serta (7) meningkatkan ketahanan pangan rakyat Indonesia dan ketahanan enerji nasional.

Apabila dicermati, keseluruhan tujuan reforma agraria di atas bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan penyelesaian berbagai permasalahan bangsa. Namun demikian, dalam pelaksanaannya tidak tertutup kemungkinan dapat menimbulkan potensi sengketa dan masalah baru yang tidak kita inginkan bersama. Kemungkinan potensi sengketa dimaksud bisa lahir akibat kekurangpahaman kita bersama terhadap pelaksanaan reforma agraria yang strategis ini. Untuk itu penyamaan persepsi, kesatuan gerak dan langkah semua pihak menjadi sangat penting.

RA: mengatasi persoalan struktural bangsa

Persoalan-persoalan struktural yang menghambat perwujudan keadilan sosial tersebut, seperti telah dikemukakan di depan, tidak akan pernah memadai bila diatasi dengan pendekatan yang bersifat end pipe policies. Proses pembangunan yang masih banyak dipengaruhi oleh colonial mode of development, maupun proses-proses pembangunan yang tidak senantiasa taat azas pada tujuan dan cita-cita Indonesia merdeka harus segera ditinggalkan. Proses pembangunan yang dibutuhkan ialah yang secara mendasar mampu mengatasi persoalan struktural. Di era transisi demokrasi ini, rakyat Indonesia memiliki caranya sendiri untuk menggulirkan roda pembangunan.

Reforma agraria sebagai strategi dan langkah pembangunan telah terbukti dalam sejarah dan dalam pengalaman negara-negara lain, sebagaimana telah diuraikan di atas. Mengapa reforma agraria mampu mengatasi persoalan-persoalan struktural dan dapat kita jalankan sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik kita? Tidak lain karena reforma agraria —baik sebagai konsepsi, strategi, maupun langkah pembangunan—bergerak langsung untuk mengatasi pokok persoalannya dengan menggunakan mandat negara, yang merupakan mandat publik, dan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.

Untuk saat ini, dapat saya pahami, reforma agraria diartikan secara beragam oleh beragam orang, profesi, atau kelompok. Di kalangan akademisi, di kalangan pegiat reforma agraria, maupun di kalangan pemerintah, reforma agraria tidak jarang dipahami secara berbeda-beda. Tetapi, dari semua ragam pemahaman ini, ada benang merah yang dapat menghubungkan semuanya, yaitu bahwa reforma agraria dimaknai sebagai penataan atas penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T) atau sumber-sumber agraria menuju suatu struktur P4T yang berkeadilan dengan langsung mengatasi pokok persoalannya. Apabila makna ini didekomposisi, terdapat lima komponen mendasar di dalamnya, yaitu : (a) restrukturisasi penguasaan asset tanah ke arah penciptaan struktur sosial-ekonomi dan politik yang lebih berkeadilan (equity), (b) sumber peningkatan kesejahteraan yang berbasis keagrariaan (welfare), (c) penggunaan/pemanfaatan tanah dan faktor-faktor produksi lainnya secara optimal (efficiency), (d) keberlanjutan (sustainability), dan (e) penyelesaian sengketa tanah (harmony).

Penataan tersebut tentu membutuhkan kekuatan dan mandat negara untuk memastikan bahwa rakyat harus memiliki sumbersumber ekonomi dan memiliki akses sosial dan politik bagi kehidupannya. Dalam kerangka mandat inilah diperlukan pula adanya distribusi/redistribusi aset-aset yang dimiliki negara untuk rakyat yang tidak memiliki aset atau yang asetnya tidak memadai untuk menopang kehidupan rumah tangganya, termasuk di dalamnya tanah dan aspek-aspek agraria lainnya. Distribusi/redistribusi aset ini harus pula disertai dengan pengembangan akses masyarakat terhadap berbagai hal yang memungkinkan rakyat memanfaatkan asetnya secara baik.18 Di antaranya adalah akses untuk bisa berpartisipasi secara bermakna dalam kehidupan sosial dan politik serta akses terhadap modal, teknologi, manajemen, pendampingan/pembinaan, peningkatan kapasitas dan kemampuan, pasar input dan pasar output, atau lainnya yang dibutuhkan untuk berkembang.

Perlu dicermati bahwa meskipun pendistribusian tanah kepada masyarakat yang berhak merupakan salah satu komponen kegiatan penting dalam program ini, namun reforma agraria tidaklah sama maknanya dengan program pendistribusian atau pembagian tanah semata. Justru, esensi yang perlu terus dijaga adalah bagaimana agar masyarakat penerima manfaat dapat mengoptimalkan pengelolaan aset tanahnya secara berkesinambungan guna meningkatkan kualitas hidup dan penghidupannya, yang pada gilirannya berdampak pada pertumbuhan perekonomian wilayahnya. Sehingga, secara keseluruhan akan sejalan dengan tujuan reforma agraria. Pembukaan akses perlu direncanakan, diselenggarakan dan dikendalikansecara cermat baik dalam konteks penyediaan dukungan dukunganteknis dan managerial maupun dalam pembinaan lanjutan lainnya serta ketentuan- ketentuan hukumnya. Pembukaan akses ini merupakan komponen kegiatan yang bersifat multi-sektoral, oleh karena itu koordinasi intensif dan kontributif dari segenap komponen yang terkait dalam kegiatan ini merupakan suatu keharusan. Atas dasar hal tersebut, untuk mempermudah pemahaman, reforma agraria dapat kita definisikan sebagai land reform plus. Artinya reforma agraria adalah land reform di dalam kerangka mandat konstitusi, politik, dan undang-undang untuk mewujudkan keadilan dalam P4T ditambah dengan access reform. Atau, secara mudah dirumuskan sebagai berikut:

Reforma Agraria = Land Reform + Access Reform

Di dalam kerangka inilah, Presiden Republik Indonesia, Bapak Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, melalui Pidato Awal Tahun yang dilakukan pada tanggal 31 Januari 2007 memutuskan bahwa mulai tahun 2007 ini secara bertahap reforma agraria dilaksanakan dengan prinsip dasar: tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat.

RA: persiapan dan perencanaan

Reforma agraria merupakan agenda besar bangsa yang membutuhkan persiapan dan perencanaan yang matang dan cermat guna memastikan tercapainya tujuan. Untuk memastikan bahwa reforma agraria tersebut berjalan secara baik, Pemerintah merencanakan akan mengalokasikan 9,25 juta hektar tanah yang berasal dari berbagai sumber, termasuk di dalamnya tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee yang telah ditetapkan berdasarkan undang undang tetapi masih belum diredistribusikan, tanah-tanah negara yang haknya telah berakhir, tanah-tanah negara yang pemanfaatan dan penggunaannya tidak sesuai dengan surat keputusan pemberian haknya, tanah-tanah yang secara fisik dan secara hukum telantar, 19 tanah bekas kawasan kehutanan, dan jenis-jenis tanah lainnya yang telah diatur oleh undang-undang.

Sering dipertanyakan oleh berbagai pihak, siapa penerima manfaat reforma agraria? Penerima manfaat reforma agraria adalah rakyat miskin. Semua tanah yang dialokasikan untuk reforma agraria pada prinsipnya untuk rakyat miskin. Kriteria miskin disusun secara hati-hati dan mendalam, dengan mempertimbangkan berbagai standar kemiskinan. Penyusunan kriteria penerima manfaat berdasarkan pendekatan hak-hak dasar rakyat (basic rights approach), yang merupakan hak yang universal dan dijamin oleh konstitusi. Kemudian diperoleh 3 (tiga) variabel pokok dalam menetapkan kriteria: kependudukan, sosial-ekonomi, dan penguasaan tanah. Dari ketiga variabel ini akan ditetapkan kriteria umum, kri-teria khusus dan urutan prioritas.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mekanisme dan delivery system reforma agraria? Data menunjukkan bahwa kantong-kantong kemiskinan berada terutama berada di hampir semua provinsi di Pulau Jawa, kemudian provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Selatan. Sedangkan tanah yang dialokasikan sebagian besar tersedia di luar provinsi tersebut. Dengan perkataan lain, penerima manfaat (subyek) reforma agraria tidak berada dalam satu lokasi dengan tanah yang tersedia (obyek). Namun terdapat pula keadaan dimana penerima manfaat berada pada lokasi yang sama dengan tanah yang tersedia. Keterpisahan antara penerima manfaat dengan tanah yang dialokasikan memerlukan desain sosial dan ekonomi, sehingga penerima manfaat dan tanahnya berada pada lokasi yang sama. Dari pendalaman diperoleh 3 (tiga) model dasar mekanisme dan delivery system sebagai berikut:

(1) Mendekatkan Obyek ke Tempat Subyek.

Dalam model ini, tanah dari daerah yang surplus tanah atau tidak padat penduduknya didekatkan ke daerah yang minus tanah, padat penduduknya dan dekat dengan penerima manfaat.

(2) Mendekatkan Subyek ke Tempat Letak Obyek.

Dalam model ini calon penerima manfaat (subjek) berpindah secara sukarela (voluntary) ke lokasi tanah yang tersedia.

(3) Subyek dan Obyek di Satu Lokasi yang Sama.

Model ini untuk keadaan di mana subyek dan obyek berada di lokasi yang sama. Secara skematis, ketiga model dasar delivery system obyek Reforma Agraria. Guna menjamin terlaksananya Reforma Agraria akan disusun dan disempurnakan peraturan perundang-undangan yang bersifat operasional, termasuk yang berkaitan dengan kelembagaan reforma agraria. Kelembagaan Reforma Agraria dibagi dalam dua kelompok kelembagaan, yaitu: (1) lembaga yang berfungsi menetapkan kebijakan, koordinasi dan pengendalian reforma agraria, serta (2) Lembaga yang berfungsi mengelola dan membiayai reforma agraria. Prinsip penting atas beroperasinya lembaga- lembaga ini adalah diterapkannya good governance secara konsekuen.

Leave a comment